Ciri ciri Manusia Ideal dalam Perspektif Islam
A. Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling
unik, dijadikan dalam bentuk yang paing baik, ciptaan Tuhan yang paling
sempurna.manusia dilengkapi dengan akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
Manusia dituntut untuk berakhlak atau berbudi pekerti.
Berbicara mengenai manusia se,purna atau ideal
pastinya tidak terlepas dari sosok ideal sepanjang masa, Rasulullah saw.
Menjadikan beliau sebagai teladan yang patut dan layak untuk ditiru demi meraih
surga-Nya. Meniru dan mengaplikasikan segala sikap dan perilaku Nabi Muhammad
saw menunjukkan cinta kita kepada Allah swt. Sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa Rasulullah saw diutus oleh Allah swt untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Namun, esensi Islam sering kali terlupakan. Padahal Islam bukan
sekedarar aksesoris serta penampilan yang disandang oleh seseorang. Islam merupakan kumpulan
nilai akhlak yang diterjemahkan ke dalam realita kehidupan yang dinamis. Islam
adalah ideologi yang hidup dan pengaturan yang sempurna atas seluruh aspek kehidupan.
Ada
beberapa ciri-ciri yang dapat kita aplikasikan dalam keseharian kita demi
mewujukan cinta kita kepada Allah swt dan Rosul-Nya, serta demi mewujudkan diri
ini sebagai manusia ideal atau lebih tepatnya muslim dan muslimah yang ideal,
baik di mata manusia dan yang terpenting di mata Alllah SWT.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka rumusan masalahnya adalah:
1.
Apa yang dimaksud denganKonsepManusia Ideal??
2.
Bagaimana Ciri-ci Manusia Ideal dalam Perspektif
Islam?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konsep Manusia Ideal
Banyak istilah yang digunakan dalam
mengartikan manusia ideal, ada yang menyebut manusia sempurna, manusia
paripurna, manusia seutuhnya, manusia unggul, manusia komplit, manusia impian,
dan masih banyak lagi. Artinya boleh banyak, tetapi pengertiannya tidak akan
jauh berbeda . Sebutan manusia sempurna, paripurna, seutuhnya, atau komplit,
lebih menekankan pada telah berkembangnya seluruh ciri-ciri dasar yang dimiliki
manusia. Sebutan manusia unggul, lebih menekankan kemampuan atau keterampilan
serba bias. Sedangkan sebutan manusia impian atau manusia ideal, sama artinya
dengan manusia yang dicita-citakan.
Kata “konsep” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , berarti
gambaran, atau citra. Dengan demikian yang dimaksud “konsep manusia ideal”
adalah citra atau gambaran dalam benak pada umumnya orang, tentang ciri-ciri
manusia yang dianggap terbaik. Karena sejatinya, upaya untuk menjadi manusia
yang sempurna, itu merupakan proses yang tiada berakhir, atau berlangsung
sampai mati. Selama hayat masih dikandung badan, setiap orang masih punya
kesempatan untuk menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi, meskipun jauh dari
sempurna.
B.
Ciri-ciri Manusia Ideal dalam Perspektif Islam
Manusia adalah makhluk
yang sangat menarik. Oleh karena itu, ia telah menjadi sasaran studi sejak
dahulu, kini, dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi
mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri,
masyarakat dan lingkungan hidupnya. Para ahli telah mengkaji manusia menurut
bidang studinya masing-masing, tetapi sampai sekarang para ahli masih belum
mencapai kata sepakat tetang manusia. Ini terbukti dari banyaknya penamaan
manusia, misalnya homo sapien (manusia berakal), homo economicus (manusia
ekonomi) yang kadangkala disebut economic animal (binatang ekonomi), dan
sebagainya. Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok binatang (animal)
selama manusia mempergunakan akalnya dan karunia Tuhan lainnya. Namun, kalau
manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang
sangat tinggi nilainya yakni pemikiran (rasio), kalbu, jiwa, raga, serta
pancaindra secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi
hewan seperti yang dinyatakan Allah did lam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 179:[1]
وَلَـقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ ۖ َهُمْ قُلُوْبٌ
لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَا ۖوَلَهُمْ
اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَا ۖوَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَا ؕ
اُولٰۤئِكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ؕ اُولٰۤئِكَ هُمُ الْغٰفِلُوْ
Terjemahnya:
”Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.[2]
Makna dari ayat diatas
ialah mereka (maksudnya manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk
memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), punya teliga tetapi tidak digunakan untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Maka mereka (manusia) yang seperti itu sama
(martabatnya) dengan hewan, bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang.
Di dalam Al-Qur’an
manusia disebut antara lain dengan bani Adam (QS. al-Isra’:70), basyar (QS.al-Kahfi:110),
al-insan (QS.al-Insan:1), an-nas (QS.an-Naas:1), berbagai rumusan
tentang manusia telah pula diberiakan orang. Salah satu diantaranya,
berdasarkan studi isi al-Qur’an dan al-Hadis, berbunyi (setelah di sunting)
sebagai berikut: Al-insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang
memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu
memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung
jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983:19). Bertitik
tolak dari rumusan singkat itu, menurut ajran Islam, manusia dibandingkan dengan makhluk lain, mempunyai
berbagai ciri, antara lain ciri utamanya adalah:[3]
1.
Makhluk yang paling unik
Dijadikan dalam bentuk yang baik, ciptaan Allah yang paling
sempurna.”sesungguhnya kami telah menjadiakn manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. (QS. at-Tin:4). Karena itupula keunikannya (kelainannya
dari makhluk ciptaan Allah yang lain) dapat dilihat pada bentuk dan struktur
tubuhnya, gejala-gejala yang diimbulkan jiwanya, mekanisme yang terjadi pada
setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya melalui tahapan-tahapan tertentu
(akan dijelaskan kemudian). Hubungsn timbal balik antara manusia dengan
lingkungan hidupnya, ketergantungannya dengan sesuatu, menunjukkan adanya
kekuasaan yang berada diluar manusia itu sendiri. Manusia sebagai makhluk,
karena itu seyogyanya menyadari kesalahannya. Kelemahan manusia berupa sifat
yang melekat pada dirinya disebutkan dalam al-Qur’an, diantaranya adalah
melampaui batas (QS.Yunus:12), zalim (bengis,
kejam, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, aniaya) dan mengingkari karunia
(pemberian) Allah (QS.Ibrahim:34), tergesa-gesa (QS.al-Isra’:11), suka
membantah (QS.al-Kahfi:54), berkeluh kesah dan kikir (QS.al-Ma’arij:21), ingkar
dan tidak berterimah kasih (QS.al-Adiyat:6). Namun untuk kepentingan dirinya
manusia ia harus senangtiasa berhubungan dengan penciptaanya, dengan sesame
manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan alam sekitar.[4]
2.
Manusia memiliki potensi (daya atau kemapuan yang mungkin
dikembangkan)
Beriman kepada Allah. Sebab
sebelum ruh (ciptaan) Allah dipertemukan di alam jasad di rahim ibunya, ruh
yang berada di alam ghaib itu (akan dijelaskan kemudian) ditanya Allah, apakah
mereka mengakui Allah sebagai Tuhan mereka (“Alastu bi rabbikum?: Apakah
kalian mengakui Aku sebagai Tuhan kalian?”). serentak dan semuanya Allah
sebagai Tuhan mereka (“Balaa syahidnaa: ya, kami akui (kami saksikan)
Engkau adalah Tuhan kami”). (QS.al-A’raf:172). Dengan prngakuan itu,
sesungguhnya sejak awal, dari tempat asalnya manusia telah mengakui Tuhan,
telah Bertuhan, Berketuhanan. Pengakuan dan penyaksian bahwa Allah adalah Tuhan
ruh yang ditiupkan ke dalam rahim wanita yang sedang mengandung manusia itu
berarti bahwa manusia mengakui (pula) kekuasaan Tuhan, termasuk kekuasaan Tuhan
menciptakan agamavuntutk pedoman hidup manusia di dunia ini. Ini bermakna pula
bahwa secara potensial manusia percaya atau beriman kepada ajaran agama yang
diciptakan Allah Yang Maha Kuasa.[5]
3.
Manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya
Tugas manusia untuk mengabdi
kepada Allah dengan tegas dinyatakanNya dalam al-Qur’an surah az-Zariyat ayat
56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Terjemahnya:
“Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Mengabdi
kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalur khusus dan jalur
umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan dengan melakukan ibadah
khusus, yaitu segala upacara pengabdian langsung kepada Allah yang cara dan
waktunya telah ditentukan oleh Allah sendiri sedang rinciannya dijelaskan oleh
Rasul_Nya, seperti ibadah shalat, zakat, saum, dan haji. Pengabdian melalui
jalur umum dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang
disebut amal shaleh yaitu segala perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri
dan masyarakat, dengan niat ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.
4.
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di muka
bumi
Hal ini dinyatakan Allah dalam
firman_Nya di dalam surah al-Baqarah ayat 30:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ؕ
قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَآءَ ۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ؕ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Terjemahnya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."[6]
Dinyatakan
dalam ayat diatas bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah_Nya di
bumu. Perkataan “menjadi khalifah” dalam ayta tersebut mangandung makna bahwa
Allah menjadikan manusia wakil atau pemegang kekuasaan_Nya mengurus dunia
dengan melaksanakan segala yang di ridhoi_Nya di muka bumu ini (H.M.
Rasjidi,1972:71). Dalam mengurus dunia, sesungguhnya manusia diuji, apakah ia
akan melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya, denngan buruk. Mengurus
dengan baik adalah megnngurus kehidupan ini sesuai dengan kehendak Allah,
sesuai dengan pola yang telah ditentukan oleh_Nya agar kemanfaatan alam
semesta dan segala isinya dapat dinikmati oleh manusia dan makhluk lainnya.
Kalau sebaliknya, pengurusan tidak baik, artinya tidak sesuai dengan pola yang
telah ditetapkan Allah. Mahapetaka, sebagai akibat salah urus akan dirasakan
oleh manusia, juga oleh lingkungannya. Untuk dapat melaksanakan tugasnya untuk
jadi kuasa khalifah Allah, manusia diberi akal pikiran dan kalbu, yang
tidak diberi kepada makhluk lain. Dengan akal pikirannya manusia mampu
mengamati alam semesta, menghasilkan dan mengembangkan ilmu, yang benihnya tela
“disemaikan” Allah sewaktu mengajarkannama-nama (benda) kepada manusia asal,
waktu Allah menjadikan manusia (Adam) menjadi khalifah-Nya di bumi ini dahulu.[7]
Dalam surah al-Baqarah ayat 31:
وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰٓئِكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـئُوْنِيْ بِاَسْمَآءِ هٰٓؤُلَآءِ اِنْ كُنْتُمْ
صٰدِقِيْنَ
Terjemahnya:
“Dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"[8]
Dengan
akal dan pemikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
diharapkan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah. Dengan mengabdi Allah
(seperti disebut pada butir 3) dengan mengembang amanah sebagai khalifah_Nya di
bumi (butir 4), manusia diharapkan agar dapat mencapai tujuan hidupnya
memperoleh keridhaan Ilahi di dunia ini, sebagai bekal mendapatkan keridhaan
Allah di akhirat nanti.
Manusia
yang mempunyai kedudukan sebagai khalifah (pemegang kekuasaan Allah) di bumi
itu bertugas memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya
mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu manusia wajib bekerja,
beramal shaleh (berbuat baik yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan
lingkungan hidupnya) serta menjaga keseimbangan alam dan bumi dengan segala
isinya telah diserahkan Allah kepada manusia sebagai amanah (kepercayaan)
untuk dikelolah, karena hanya manusialah yang diserahi dan berani bertanggung
jawab memegang amanah Allah dalam surah al-Ahzab ayat 72:
اِنَّا
عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ
اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَ حَمَلَهَا الْاِنْسَانُ ؕ
اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًا
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”[9]
Menurut
Bintu Syati, nama samara profesor Aisyah Abdurrahman, (pakar tafsir dan
pengajar di Universitas Ayn Syams Kairo, dan Qurawiyyin Maroko, sebagaimana
dikutip Ensiklopedi Islam (1993,III:164), perkataan al-amanah dalam ayat
di atas lebih tepat kalau diartikan “ujisn yang mengiringi suatu tugas,
kemerdekaan berkehendak dan bertanggungjawab mengenai pilihan. “semua makhluk,
kecuali manusia, hidup dan menjalani kehidupannya menurut sunnahtullah tanpa
diberi amanah dan tanpa dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang
dilakukannya. Namun manusia, sebagai khalifah, bertanggung jawab atas segala
perbuatannya dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggungjawab ini bersifat
pribadi, tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan. Amanah
seperti ini tidak dibeikan khusus kepada orang-orang beriman (mukmin) saja,
tetapi juga kepada yang tidak beriman (kepada Allah) yang disebut nonmukmin.
Mukmin dan nonmukmin, asal ia manusia, memegang amanah dan tanggung jawab yang
sama. Apabila amanah dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan iman dan amal
shaleh menurut sunnahtullah dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan-Nya,
jadilah manusia menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan sempurna. Tetapi,
jika keimanan dan amal shaleh tidak membingkai (melingkari) amanah dan tanggung
jawab itu dilakukan tidak sesuai sunnahtullah dan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan-Nya, perbuatan yang demikian ini merosotkan derajat manusia menjadi
makhluk yang hina (di depan pemberian amanah itu). Sebagai pemegang amanah yang
bertanggung jawab, manusia sebagai khalifah Allah memang mempunyai kemerdekaan
untuk memilih apa yang diyakini atau yang tidak diyakininya, merdeka untuk
berkehendak, berbuat, berfikir, dan berpendapat. Namun, kemerdekaan itu harus
dipertanggungjawabkan kelak, karena kemerdekaan yang diberi Allah itu tidak
boleh melampaui batas-batas amanah dan tanggung jawab yang telah ditentukan_Nya
baik yang terdapat dalam alam semesta maupun yang terkandung dalam
firman-firman-Nya dalam ajaran agama pada umumnya, dan dalam al-Qur’an pada
khususnya”.[10]
5.
Di samping akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan
dan kemauan atau kehendak
Dengan akal dan
kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada Allah, menjadi muslim; tetapi
dengan akal dan kehendaknya juga manusia dapat dipercaya, tidak tunduk dan
tidak patuh kepada kehendak Allah, bahkan mengingkari-Nya (Kafir). Krarena itu
di dalam surah al-Kahfi:29 Allah menegaskan (yang terjemahan artinya lebih
kurang),…”kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau beriman
hendaklah ia beriman dan barang siapa yang tidak ingin beriman, biarlah ia
kafir. “ dalam surah al-Insan ayat 3 Allah berfirman:
اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا
شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا
Terjemanya:
“Sesungguhnya
Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir.
Allah telah menunjukkan jalan
kepada manusia. Manusia dapat mengikuti jalan itu, dapat pula tidak
mengikutinya. Memang, dengan kemauan atau kehendaknya yang bebas (free
will) manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya. Namun, tentang
pilihannya itu, manusia wajib mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat, pada
hari perhitungan mengenai baik-buruknya perbuatan manusia di dunia ini.[11]
6.
Secara individu manusia dapat beratanggung jawab atas segala
perbuatannya
Ini dinyatakan
Tuhan dalam firman-Nya yang kini dapat dibaca dalam al-Qur’an surah at-Thur
ayat 21 :
كُلُّ
امْرِیءٍۢ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ
Terjemahnya:
“tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
7.
Berakhlak
Berakhlak
adalah ciri utama manusia dibandingakn dengan makhluk lain. Artinya, manusia
adalah makhluk yang diberi Allah kemampuan untuk membedakan yang baik dengan
yang buruk. Dalam islam kedudukan akhlak sangat penting, menjadi komponen
ketiga agama islam. Kedudukan itu dapat dilihat dari sunnah Nabi yang
mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Suri
teladan yang diberikan Nabi semasa hidupnya merupakan contoh yang seyognyanya
diikuti ummat islam. Selain dari keteladanan beliau, butir-butir akhlak banyak
sekali terdapat dalam al-Qur’an. Ajaran akhlak yang berasal dari al-Qur’an dan
Hadits berlaku abadi, selama-lamanya. Perwujudannya kelihatan pada sikap yang
dilanjutkan dengan buatan baik atau buruk.[12]
8. Rendah
Hati
Dapat dilihat dalam surah al-Furqon: 63, as- Syura:
215, al-Maidah: 54, al-Fath: 29.
Sedangkan dalam hadits diantaranya adalah: Dari ‘Iyad
bin Hammar r.a kata Rasulullah saw “sesungguhnya Allah swt telah mewahyukan
agar kamu berendah hati (tawaddu) supaya
tidak seorang berusaha menyakiti orang lain, dan tidak seorang berusaha
berbangga kepada orang lain”. (H.R. Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Raulullah saw bersabda
“tidaklah berkurang harta karena disedekahkan, tidaklah bertambah keluarga
seorang hamba kecuali bertambah mulia ia dan tidaklah berendah hati seseorang
kecuali ia diangkat oleh Allah”. (H.R. Muslim)
9. Kebenaran
Ini disebut dalam Al-Qur’an surah at-Taubah: 119,
Muhammad: 21, al-Baqarah: 177.
Dalam hadits, dari Ibnu Mas’ud r.a Rasulullah saw
bersabda “kebenaran itu menunjuki kepada kebaikan, sedang kebaikan menunjuki ke
surge. Seseorang akan tetap bersifat benar sehingga dicatat di sisi Allah
sebagai siddiq, dusta menunjuki kea
rah kejahatan, sedang kejahatan membawa kepada neraka. Seseorang itu akan terus
berdusta sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
10. Jasmani
yang sehat dan kuat serta berketerampilan
Orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta
kuat, terutama berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelajaran serta
pengegakkan ajaran Islam. Dilihat dari sudut ini maka Islam mengidealkan Muslim
yang sehat serta kuat jasmaninya.
Dalam penegakkan agama Islam, terutama masa
penyiarannya dalam sejarah, tidak jarang ditemukan rintangan yang pada akhirnya
memerlukan kekuatan dan kesehatan fisik (jasmani).kadang-kadang kekuatan dan
kesehatan itu diperlukan untuk berperang menegakkan ajaran Islam. Ternyata
sampai sekarang pun tantangan fisik seperti dalam sejarah tersebut sering juga
muncul. Oleh, karena itu, sekarang pun Muslim harus sehat dan kuat fisiknya.
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat
mentalnya, karena inti ajaran Islam adalah persoalan mental. Kesehatan mental
berkaitan erat dengan kesehatan jasmani. Karena kesehatan mental penting, maka
kesehtan jasmani pun penting pula. Karena kesehatan jasmani itu sering
berkaitan dengan pembelaan Islam, maka sejak permulaan sejarahnya pendidikan
jasmani (agar sehat dan kuat) diberikan oleh para pemimpin Islam. Pendidikan
itu langsung dihubungkan denganpembelaan Islam, yaitu berupa latihan, memanah,
berenang, menggunakan senjata, menunggang kuda, lari cepat. Pentingnya kekuatan
dan kesehatan fisik itu juga mempunya dalil-dalil naqli.
Dalam surah al-Anfal ayat 60 disebutkan agar orang
Islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh
Allah. Yang dimaksud dengan musuh-musuh Allah yang mengancam agama Islam.
Persiapan itu diselenggarakan antara lain berupa pendidikan Islam.[13]
Kesehatan dan kekuatan juga berkaitan dengan kemampuan
menguasai filsafat dan sains serta
pengelolaan alam. Oleh karena itu, semakin wajarlah kiranya bila Islam
memandang jasmani yang sehat serta kuat sebagai salah satu ciri Muslim yang
sempurna.
Jasmani yang sehat dan kuat berkaitan juga dengan ciri
lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu
keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.[14]
11. Cerdas
serta pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai.
Itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas ditandai oleh adanya
kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai
ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan, jadi banyak memiliki informasi.
Salah satu ciri Muslim yang sempurna adalah cerdas serta pandai. Kecerdasan dan
kepandaian itu dapat ditilik melalui indikator-indikator sebagai berikut:
Pertama,
memiliki sains yang banyak dan
berkualitas tinggi. Sains adalah pengetahuan manusia yang merupakan produk
indera dan akal; dalam sains kelihatan tinggi atau rendahnya mutu akal. Orang
Islam hendaknya tidak hanya menguasai teori-teori sains, tetapi berkemampuan
pula menciptakan teori-teori baru dalam sains, termasuk teknologi. Kedua, mampu memahami dan menghasilkan
filsafat. Berbeda dari sains, filsafat adalah jenis pengetahuan yang
semata-mata akliah. Dengan ini, orang Islam akan mampu memecahkan masalah
filosofis.
Perlunya ciri akliah dimiliki oleh Muslim dapat
diketahui dari ayat-ayat Al-Qur’an serta hadits Nabi Muhammad saw. Ayat dan
hadits itu biasanya diungkapkandalam bentuk perintah agar belajar dan atau
perintah menggunakan indera dan akal, atau pujian kepada mereka yang menggunakan
indera dan akalnya. Sebagian kecil dari ayat Al-Qur’an dan hadits tersebut
dituliskan berikut ini:
Qur’an
surah az-Zumar: 9
اَمَّنْ
هُوَ قَانِتٌ اٰنَآءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَآئِمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ
وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖ ؕ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ
وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ؕ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Terjemahnya:
“katakanlah, samakah anatara orang yang mengetahui dan
orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran”[15]
Ayat di atas menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan
dimiliki orang Islam, pentingnya berpikir, dan pentingnya belajar.
Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh dengan cara belajar (lihat Al-Bukhari, I, 1981: 25). Jadi, kalau
begitu orang Islam diperintah agar belajar. Al-Ghazali lebih tegas dalam hal
ini; ia berpendapat bahwa belajar itu wajib bagi setiap Muslim. Jadi, jelaslah
bahwa Islam menghendaki agar orang Islam berpengetahuan. Ini adalah salah satu ciri
akal yang berkembang baik. Akal yang berkembang baik itu berisi banyak
pengetahuan sains, filsafat, serta mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah
dan filosofis.
Akal yang cerdas adalah karunia Tuhan. Indikatornya
ialah kecerdasan umum (IQ). Kecerdasan itu, selain ditentukan oleh Tuhan,
berkaitan dengan keturunan.Kesehatan jiwa dan fisik jelas berkaitan pula dengan
kecerdasan tersebut. Kalau begitu, kesehatan dan kekuatan seperi yang ditelah
diuraikan sebelumnya memang berkaitan juga dengan tingkat kecerdasan.[16]
12. Rohani
yang berkualitas tinggi
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, rohani yang
dimaksud di sini adalah aspek manusia selain jasmani dan akal (logika). Rohani
itu samar, ruwet, belum jelas batasannya; idak manusia belum (tidak akan)memiliki
cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya. Kebanyakan buku tasawwuf dan pendidikan Islam
menyebutkan qalb (kalbu) saja.
Kalbu di sini, sekalipun tidak jelas hakikatnya,
apalagi rinciannya, gejalanya jelas. Gejalanya itu diwakilkan dengan istilah
rasa rincian rasa tersebut misalnya, sedih, gelisah, rndu, sabar, serakah,
putus asa, cinta, benci, iman, bahkan kemampuan “melihat” yang gaib, termasuk
“melihat” Tuhan, surga, neraka, dll. Kata “melihat” Tuhan dan sebagainya itu
sebenarnya adalah “merasakan” kemampuan manusia memperoleh ilmu laduniadalah bagian dari kerja kalbu.
Kekuatan jasmani berbatas pada objek-objek berwujud
misteri yang dapat ditangkap oleh indera. Kekuatan akala tau piker betul-betul
sangat luas; dapat mengetahui objek yang abstrak, tetapi sebatas dapat dipirkan
secara logis kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal
bahka ia dapat mengetahui objek secara tidak terbatas. Oleh karena itu, Islam
amat mengistimewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam gai, bahkan
menembus Tuhan..kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman
secara sunggu-sungguh. Bahkan iman itu, menurut Al-Qur’an, tempatnya di dalam
kalbu:[17]
Qur’an surah al-Hujurat ayat 14:
قَالَتِ الْاَعْرَابُ
اٰمَنَّا ؕ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰـكِنْ قُوْلُوْۤا
اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۚ
وَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ
اَعْمَالِكُمْ شَيْئًــا ؕ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Terjemahnya:
“orang-orang Arab badui itu berkata, kami telah
beriman. Dikatakan kepada mereka, kamu sebenarnya belum beriman; kamu
seharusnya mengatakan kami telah tunduk karena sebenarnya iman itu masuk ke
dalam hati kita”.[18]
Dalam ayat tersebut Tuhan menjelaskan bahwa iman itu
ada di dalam hati, suatu rasa tentang Tuhan dalam surah al-Maidah ayat 41:
وَمِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْۤا اِنَّا
نَصٰرٰٓى اَخَذْنَا مِيْثَاقَهُمْ فَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖ
ۖ فَاَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَآءَ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ
ؕ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللّٰهُ
بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْن
Terjemahnya:
“hai Rasul, janganlah kamu bersedih oleh orang-orang yang segera
(memperlihat) kafir, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa kamu tekah
beriman, padahal hati mereka belum beriman”.[19]
Jadi, menurut ayat ini kata iman tidaklah merupakan
pertanda bahwa orang yang mengatakan itu sudah beriman; iman itu di hati bukan
dimulut. Iman itu juga bukan di kepala. Yang ada di kepala adalah pengetahuan
tentang iman,pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang di kepala itu bukan iman,
iman itu di dalam hati.
Berdasrakan uraian di atas, jelaslah bahwa kalbu yang
berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang berisi iman kepada Allah;atau debgan
ungkapan lain, kalbu yang takwa kepada Allah.
Kalbu yang penuh iman itu mempunyai gejala-gejala yang
amat banyak; katakanlah rinciannya amat banyak. Kalbu yang beriman itu ditandai
bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusyuk (al-Mu’min: 1-2), bila mengingat
Allah, kulit dan hatinya tenang (az-Zumar:23), bila disebut nama Allah,
bergetar hatinya (al-Hajj: 34-35); bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah
mereka sujud dan menangis (Maryam: 58, al-Isra: 109). Itulah ciri utama hati
yang penuh iman atau takwa. Dari situlah akan muncul manusia yang berpikir dan
bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia
sempurna dalam pandangan Islam ialah manusia yang hatinya penuh iman atau takwa
kepada Tuhan.[20]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. konsep manusia ideal”
adalah citra atau gambaran dalam benak pada umumnya orang, tentang ciri-ciri
manusia yang dianggap terbaik. Karena sejatinya, upaya untuk menjadi manusia
yang sempurna, itu merupakan proses yang tiada berakhir, atau berlangsung
sampai mati. Selama hayat masih dikandung badan, setiap orang masih punya
kesempatan untuk menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi, meskipun jauh dari
sempurna.
2. Ciri-ciri
manusia ideal dalam perspektif Islam
a.
Makhluk yang paling
unik
b.
Manusia memiliki
potensi (daya atau kemapuan yang mungkin dikembangkan)
c.
Manusia diciptakan
oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya
d.
Manusia diciptakan
Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi
e.
Di samping akal,
manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kemauan atau kehendak
f.
Secara individu
manusia dapat beratanggung jawab atas segala perbuatannya
g.
Berakhlak
h.
Rendah
Hati
i.
Kebenaran
j.
Jasmani
yang sehat dan kuat serta berketerampilan
k.
Cerdas
serta pandai
l.
Rohani
yang berkualitas tinggi
B.
Implikasi
Diharapkan dengan adanya makalah ini, yang
membahas tentang ciri-ciri manusia ideal dalam perspektif Islam kita dapat
memahami dan menjadi manusia ideal seperti halnya yang tercantum di dalam
Al-Qur’an maupun yang dijelaskan dalam hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Langgulung, Prof. Dr. Hasan. 2008. Asas-asas
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Ali, Muhammad Daud. 2010. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Tafsir, Ahmad. 2014. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1]Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H.,Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT.
raja grafindo Persada), hlm. 10.
[2]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jabal Roudhatul Jannah), hlm.
174.
[3]Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H, Op, Cit., hlm. 11-12.
[4]Ibid.,hlm. 12-13.
[5]Ibid.,hlm. 13.
[6]Kementerian Agama RI, Op, Cit., hlm. 6.
[7]Prof. H. Muhammad Daud Ali, Op, Cit., hlm. 14.
[8]Kementerian Agama RI, Op, Cit., hlm. 6.
[9]Ibid.,hlm. 427.
[10]Prof. H. Muhammad Daud Ali, Op, Cit., hlm. 15.
[11]Ibid.,hlm. 18.
[12]Ibid., hlm. 19.
[13]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Rosdakarya
Remaja), hlm. 41.
[14]Ibid.,hlm. 42.
[15]Kementrian Agama RI, Op, Cit., hlm. 459.
[16]Ahmad Tafsir, Op, Cit., hlm. 44.
[17]Ibid, hlm. 45.
[18]Kementrian Agama RI, Op, Cit., hlm. 517.
[19]Kementrian Agama RI, Op, Cit., hlm. 114.
[20]Ahmad Tafsir, Op, Cit., hlm. 46.
Your Affiliate Money Making Machine is waiting -
ReplyDeleteAnd getting it running is as easy as 1---2---3!
Here's how it works...
STEP 1. Choose which affiliate products you intend to promote
STEP 2. Add PUSH BUTTON traffic (it takes JUST 2 minutes)
STEP 3. See how the affiliate products system grow your list and sell your affiliate products for you!
So, do you want to start making profits?
Check it out here